Almamater Kebanggaan
Sunday, July 28, 2019
Add Comment
Artikel
ini berjudul “Almamater Kebanggaan”
yang saya tulis berdasarkan sebuah keresahan yang muncul dihati saya. Dengan
ditemani secangkir kopi serta laptop kecil, jari- jariku mulai bergoyang diatas
keyboard yang sudah rapuh, bahkan
hurufnya pun sudah mulai memudar.
Tulisan
ini dimulai, ketika saya menginjak kelas 12 SMA dimana otak saya dipacu untuk
berpikir, bukan karena memikirkan Ujian Nasional (UN) atau memikirkan gebetan
yang sulit untuk dijadikan pacar, melainkan saya mulai berpikir untuk masa
depan. Pilihan yang sangat membingungkan antara melanjutkan pendidikan atau
bekerja. Dengan berbagai macam pertimbangan, akhirnya pikiran mulai tercerahkan
dan memilih untuk melangkah ke ranah pendidikan formal yaitu kuliah.
Ketika
sudah memilih satu jalan, saya kira sudah tidak ada lagi kata “Memutar Otak”, ternyata asumsiku salah,
otak yang kecil ini semakin dipicu untuk menjawab anak pertanyaan seperti “Kuliah dimana” serta “Kuliah jurusan apa”. Pertanyaan yang
sangat membingungkan untuk siswa bodoh dan pemalas seperti saya, tetapi
untungnya saya punya nilai ambisiusitas yang
tinggi, sehingga ada sedikit kata bangga
pada diri ini.
Seperti
halnya siswa- siswa yang akalnya belum terlalu sehat, karena memang minimnya
pengetahuan dan pengalaman. Waktu itu semuanya berlomba- lomba untuk masuk ke
perguruan tinggi negeri, kenapa seperti itu? Alasannya sangat simpel, karena lulusan
perguruan tinggi negeri (PTN) mempunyai peluang besar untuk diterima kerja di
perusahaan- perusahaan besar di Indonesia maupun di luar negeri.
Betapa
kotornya otak ini ketika peluang kerja
dijadikan sebuah tujuan daripada pendidikan, seakan pengetahuan menjadi perihal
nomor dua dari sebuah pendidikan. Tetapi memang seperti itulah pikiran saya
waktu itu.
Tidak
diterima di PTN menjadi sebuah kegagalan yang luar biasa pada diri ini, apalagi
teman- teman ataupun sahabat yang mungkin kapasitas otaknya lebih rendah dari
saya, mereka semua diterima di PTN unggulan. Tetapi memang seperti itulah
kehidupan, keberuntungan lebih dihargai daripada sebuah keterampilan.
Dimanapun
diri ini melangkah untuk pendidikan yang lebih tinggi, rasanya sudah ada
kepasrahan dalam hidup, yang terpenting adalah bisa kuliah dan mengurangi
tingkat kebodohan ini. And Finally
kuliah di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menjadi jawabannya.
Sedikit
memalukan ketika teman- teman kita menari- nari penuh kegembiraan diatas tanah
almamater yang membanggakan, sedangkan diri ini penuh dengan penyesalan, tidak
bisa berbangga hati karena masuk didalam perguruan tinggi swasta, yang kata
orang biayanya lebih mahal serta merupakan kampus prakmatis.
Bagaimanapun
juga waktu akan terus berjalan, penyesalanpun berubah menjadi sebuah kenyamanan,
berbagai macam quote- quote luar
biasa masuk didalam pikiran, seperti “Lebih
baik menjadi raja di kerajaan yang kecil daripada menjadi prajurit di kerajaan
besar”, artinya kuliah di kampus swasta pun tidak masalah asalkan kita bisa
lebih unggul disini, daripada kuliah di kampus negeri tetapi kita tidak bisa
muncul dipermukaan.
Quote- quote yang sudah ditelan mentah- mentah seakan membuat
rasa nyaman dan aman, tetapi tetap saja tujuan saya kuliah yaitu untuk
mempersiapkan diri mencari sebuah pekerjaan, kurang lebih masih seperti itulah
pikiran saya.
Perjalanan
yang lumayan panjang telah terlewati, banyak sekali pengetahuan yang masuk
kedalam pikiran sehingga membentuk sebuah pola pikir baru. Berbagai macam
sumber pengetahuan yang telah didapatkan entah dari buku, diskusi, video, dan
lain sebagainya.
Pemikiran
yang mulai terbuka dan cenderung liar membuat satu pertanyaan subjektif yang
saya kira sangat filosofis, “Sebenarnya
buat apa sih kuliah?” saya mulai menanyakan kepada diri sendiri, apakah
saya bisa menjawab pertanyaan gampang seperti itu dan apakah nanti jawabanku
sudah sesuai? Serta apakah ada korelasi antara kuliah di kampus negeri dengan
pertanyaan “Buat apa kuliah?”.
Pikiran
ini mulai diobrak- abrik oleh
pertanyaan gila semacam itu, kalau misalnya saya menjawab “Untuk mencari pekerjaan” lantas, kemana fungsi pendidikan yang
lebih substansial? Atau mungkin jawabannya adalah “Untuk membuat diri ini pintar”, tetapi sepertinya membaca buku satu
perpustakaan sudah bisa membuat diri ini pintar, bahkan kita tak perlu
mengeluarkan biaya yang banyak. Atau mungkin “Ijasah” bisa menjawab pertanyaanku? Tetapi setelah saya pikir-
pikir, ijasah tidak lebih dari kertas kusam yang tidak ada gunanya.
Lalu,
jawabannya seperti apa?
Saya
rasa “Ilmu pengetahuan dan Pembentukan
pola pikir” lebih esensial untuk menjawab pertanyaan “Buat apa sih kuliah?”. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan
membentuk pola pikir yang lebih maju, harus didukung dengan konsistensi dan
komitmen diri sendiri. Lalu dimana peran almamater
yang terus dibanggakan itu? Mungkin hanya 20% peran almamater untuk membuat
diri ini berkembang, selebihnya itu otoritas dari tubuh kita masing- masing.
Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) yang dulu mungkin terlihat sangat eksklusif dimata saya,
sekarang eksklusifitasnya mulai menurun karena pola pikir yang berkembang.
Boleh saja meng-agungkan almamater unggulan, tetapi kalau sampai merasa rendah
karena tidak bisa masuk PTN, itu adalah pemikiran yang dangkal.
“Setiap tempat adalah sekolah”
Dimanapun
kita belajar, tidak akan pernah membuat kita berkembang kalau tidak ada
konsistensi dan komitmen yang tinggi, entah perguruan tinggi negeri ataupun
swasta, tidak perlu adanya eksklusifitas yang berlebihan, karena pada dasarnya kampus
ya tetap saja kampus, prinsipnya adalah tempat untuk belajar dan mengembangkan
diri.
Yang
terpenting adalah bukan kita yang seharusnya bangga atas almamater tetapi
almamaterlah yang seharusnya bangga dengan adanya kita. Karena menjadi
mahasiswa yang paham substansi kuliah yang akan menjadikan kita berkembang dan
berkualitas.
0 Response to "Almamater Kebanggaan"
Post a Comment