Mahasiswa Anarkis atau Polisi Represif?
Friday, September 27, 2019
Add Comment
![]() |
Source : lensaindonesia.com |
Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
Sepertinya
sudah sangat lama setelah rezim orde baru diruntuhkan oleh mahasiswa dengan
persatuan dan teriakannya yang lantang. Demonstrasi besar- besar an dibanyak
titik di Indonesia seakan membuat iklim pergerakan mulai massif kembali. Bukan
hanya aktivis mahasiswa yang lantang meneriakkan aspirasinya tetapi mahasiswa
yang selalu berorientasi pada akademik yang anti organisasi pun juga ikut
berpartisipasi turun ke jalan.
Masifnya
aksi rakyat Indonesia bukan hanya terjadi di jalan saja, melainkan banyak juga
propaganda- propaganda yang disebarkan melalui sosial media. Semuanya lantang
menolak Rancangan Undang- Undang (RUU) yang dianggap nyeleneh dan cenderung merugikan rakyat Indonesia.
Kebijakan
dari pemerintah memang terkadang menimbulkan polemik yang begitu besar sehingga
memaksa mahasiswa turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi guna meneriakkan
aspirasi dari rakyat Indonesia. Tapi tak apa, karena demo adalah bagian dari
demokrasi, yang terpenting adalah tetap mengikuti mekanisme yang ada.
Sebenarnya
yang sangat krusial yang harus dibahas selain penolakan RUU yang dianggap ngawur adalah nilai kemanusiaan yang
sedikit kurang diperhitungkan serta adanya pembagian kelompok yang saling
berseberangan antara Mahasiswa
dan Aparat.
Banyak
sekali propaganda serta cuplikan video yang tersebar luas di media masa yang
cenderung menyudutkan salah satu pihak, disatu sisi ada yang mengatakan bahwa
aparat terlalu represif, memukuli dan bertindak semena- mena kepada mahasiswa bahkan
ada yang sampai luka parah. Di sisi lain ada yang mengatakan bahwa Mahasiswa
terlalu anarkis sehingga perlu adanya tindakan tegas dari aparat.
Saya
mahasiswa yang sangat aktif di media sosial terutama di Instagram. Pada saat
aksi serentak kemarin, beranda insragram saya dipenuhi dengan berbagai macam kekerasan
yang dilakukan oleh aparat kepada mahasiswa. Pemukulan, penendangan, serta
pengeroyokan oleh aparat terhadap mahasiswa sontak membuat saya geram.
“Dimana nilai kemanusiaannya?!?”
“Apakah seperti itu kalian
menghakimi kami?!?”
Sebagai
seorang mahasiswa yang katanya kaum berintelektual tinggi,
saya mencoba untuk menahan emosi dan tidak ingin bertindak bodoh hanya karena
melihat satu sudut pandang saja.
Seperti
halnya seorang filsuf yang mempertanyakan segala macam hal, saya mencoba membentuk
pertanyaan sederhana untuk diri saya sendiri. “Apakah memang aparat seliar itu?”
Kayu
tidak akan terbakar kalau tidak ada api yang menyulut dan api tidak akan
membesar kalau tidak ada pemantiknya, prinsipnya seperti itu bukan?
Sampai
disini pikiran saya mulai terbuka untuk berbagai macam sudut pandang. Aparat
tidak akan beringas jika tidak ada yang memicunya. Tetapi kalau memang aparat
berbuat semena- mena terhadap mahasiswa tanpa didasari pemicu yang jelas,
mungkin aparat tersebut bukan manusia. Karena bagi penulis, manusia tidak akan
pernah dianggap manusia jika mereka tidak bisa memanusiakan manusia.
Tetapi
sekarang mulai muncul pertanyaan lagi, “Seberapa
besar sih pemicunya? Sehingga mahasiswa diberlakukan seperti binatang yang
tidak ada artinya”.
Kalau
memang sebatas teriakan “Aparat anjing!”
“Aparat Bangsat” dan lain sebagainya, apakah setimpal jika mahasiswa
dikeroyok dan diinjak dengan sepatu besar yang sangat istimewa yang dimiliki
oleh aparat?
Aparat
bukan hakim ataupun algojo yang memiliki otoritas hidup matinya orang lain.
Injak, pukul, tendang dan lain sebagianya itu merupakan tindakan yang sangat
represif dan tidak manusiawi.
Ada
salah satu cuplikan video yang membandingkan antara tindakan represif aparat
dengan tindakan anarkis mahasiswa. Karena sudah banyak sekali cuplikan video dari
tindakan represif aparat, saya juga mencoba melihat video anarkis yang
dilakukan oleh mahasiswa terhadap aparat.
Dalam
video tersebut terlihat ada tindakan menendang aparat yang sedang mengamankan
aksi demontrasi. Banyak mahasiswa hanya berdiri didepan blokade aparat, tetapi
beberapa mahasiswa ada yang menendang aparat bahkan sampai dua kali.
“Terus, siapa yang salah?”
Entahlah,
lagi- lagi ini soal api yang telah dipantik. Tetapi aparat juga manusia yang
memiliki tingkat emosional seperti halnya mahasiswa, aparat tidak akan cuma
diam menunggu instruksi pimpinan ketika tindakan tak layak dilayangkan ke
mereka.
“Sekali lagi, siapa yang salah?”
Saya
tidak tau, dan saya pun tidak bisa memihak, karena antara aparat dan mahasiswa
adalah bagian dari rakyat Indonesia yang saling terikat persaudaraan satu tanah
air.
Antara
tugas mahasiswa sebagai demonstran ataupun tugas aparat sebagai pengaman
demonstrasi, yang terpenting bukan siapa yang dapat menyuarakkan aspirasinya
dengan lantang ataupun siapa yang bisa mengamankan demonstrasi dengan profesional.
Tetapi disampipng itu semua, ada persoalan yang lebih krusial yang harus
dilirik lebih dalam lagi yaitu nilai
kemanusiaan.
Sedikit
mengutip nilai dari ideologi Liberalisme,
bahwa setiap orang memiliki otoritas penuh terhadap dirinya sendiri. Apakah itu
artinya kita memiliki hak untuk memukulkan tangan ke wajah seseorang? Jelas
tidak, kebebasan itu bisa terbatasi oleh kebebasan orang lain yang artinya
meskipun manusia mempunyai otoritas menggerakkan seluruh badan- dalam hal ini
adalah memukul. Tetapi disamping itu manusia juga memiliki hak untuk tidak
disakiti dalam hal ini adalah fisik.
Sekali
lagi itu perihal kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi dari apapun. Bahkan
almarhum Gus dur pernah mengatakan “Yang
lebih penting dari politik adalah Kemanusiaan”.
Apapun
kepentingannya, entah itu demonstrasi ataupun mengamankan demonstrasi, nilai
kemanusiaan tetap menjadi prioritas pertama dan utama sebagai bentuk penghargaan
atas kehidupan seseorang. (Semarang, 2019)
0 Response to "Mahasiswa Anarkis atau Polisi Represif?"
Post a Comment