Kebebasan Pendidikan Anak dan Budaya Dialektis Keluarga
Saturday, March 21, 2020
Add Comment
![]() |
Unsplash.com |
Menjadi seorang anak terkadang sangat melelahkan, bukan karena kami terlalu banyak bergerak dan bermain, hanya saja ada beberapa pihak yang dengan sengaja menggerakkan serta memainkan hati, pikiran bahkan raga untuk menciptakan ekspektasi buta dengan cara memaksa dan menekan. Lebih dari itu, menjadi seorang anak merupakan karakter yang amat membingungkan. Mereka berkata bahwa kami ialah individu yang bebas berkreatifvitas serta bebas terbang dengan sayap kecil kemanapun kami mau, tetapi ternyata masih ada gunting- gunting nakal yang dengan sengaja melukai bahkan memotong sayap kami.
Ironisnya
gunting- gunting yang membantai sayap kami adalah orang yang selalu menebarkan
kasih sayang, bahkan secara tidak sadar, hati kami terus memproduksi rasa cinta
untuk mereka. Sebut saja pihak- pihak ini adalah orang tua. Mereka ialah
karakter yang diciptakan Tuhan dengan segala pengalaman dan kebijaksanaannya
untuk memberikan penerangan untuk anak- anaknya.
Tetapi
kebijaksanaan yang beliau pahami sesungguhnya bukanlah sebuah kebijaksaan jika
hanya melihat dari satu sudut pandang saja, karena pada dasarnya kebijaksanaan
ialah bagaimana cara manusia melihat suatu permasalahan dari beberapa angle kehidupan serta dengan kaca mata
analisis yang berbeda- beda. Itulah persoalan yang dilihat dari sudut pandang
seorang anak mengenai kebijaksanaan orang tua terhadap pendidikan anak.
Bener banget, kalau kata Paulo Freire seorang filsuf pendidikan
asal brasil, beliau mengatakan bahwa Pendidikan tidak bakal bisa merubah dunia,
pendidikan hanya merubah manusia dan manusialah yang akan berubah dunia. Poin
pentingnya ada pada kata perubahan. Pada dasarnya, waktu akan
merubah setiap individu yang hidup didunia ini. Sebagai manusia, perubahan yang
signifikan ialah perubahan pola pikir dimana perubahan ini tercipta dari sebuah
pengalaman serta pendidikan.
Tetapi
pertanyaan yang kemudian muncul adalah “Bagaimana kami bisa berubah dengan
nyaman jika pendidikan dan pengalaman kami diciptakan oleh orang lain”. Mungkin
itu pertanyaan yang muncul pada anak- anak yang dipaksa untuk berjalan diatas
mimpi orang lain.
Mungkin
masih banyak persoalan seperti itu. Ketika anak menginginkan belajar di bidang
filsafat tetapi orang tua membelokkan keinginan itu menjadi studi di bidang
kedokteran dengan dalih kepedulian terhadap masa depan anak. Pada akhirnya anak
akan bersikap fatalis saja dan menghabiskan sisa- sisa hidupnya dengan
keterpaksaan dan ketidaknyamanan.
Bukankah
keluarga merupakan wadah pendidikan pertama yang seharusnya memberikan dasar
pondasi yang baik? Dan bukankah seharusnya pendidikan itu berasaskan konsep
dialektika yang ideal? Tetapi mungkin masih banyak keluarga yang menerapkan
sistem otoriter terutama kepada anak, bahkan untuk sekadar menciptakan
musyawarah pun sepertinya sangat susah.
Salah
satu pengalaman saya yang menjadi dasar keresahan dalam hal intervensi
pendidikan keluarga berawal dari kehidupan tetangga saya yang sangat otoriter
terhadap pola asuh anak. Semua tindakan dan perilaku anak diatur oleh orang tua
dengan cara yang sangat keras. Saat anak melakukan suatu kesalahan yang
disengaja ataupun tidak disengaja, orang tua selalu mengajari dengan cara
memarahi ataupun melakukan tindakan fisik, seakan- akan anak dipaksa untuk
tidak boleh melakukan kesalahan.
Selain
itu dalam hal akademik, anak harus memiliki nilai yang sudah distandarisasi
oleh orang tua. Anak harus menguasai semua mata pelajaran yang ada disekolah
terutama matematika, IPA, Bahasa Inggris dan lain sebagainya. Kalau si anak
mendapatkan nilai dibawah standar yang dibuat oleh orang tua, maka kalimat “Kamu bodoh, tolol, ga punya masa depan”
bisa jadi keluar dari mulut orang tua dan bahkan kekerasan fisikpun bisa saja
terjadi.
Dalam
hal pendidikan agama, tetangga saya selalu memberikan doktrin ajaran Islam
untuk anaknya, mulai dari pemikiran, cara membaca Al- Qur’an sampai tata cara
Shalat. Dengan cara yang sama yaitu dengan sikap keras dan otoriter. Lagi- lagi
jika anak kurang terampil, beliau akan memarahi dengan sangat keras. Padahal
pada dasarnya Islam adalah agama yang sangat damai, artinya beliau memberikan
pelajaran Islam dengan cara yang tidak Islam sama sekali.
Intervensi
pendidikannya berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Orang tua masih
berpikir bahwa kesuksesan anak harus berbanding lurus dengan keinginan orang
tua tanpa mempertimbangkan mimpi dan harapan sang anak. Lagi- lagi si anak
harus menuruti egoisme orang tua untuk memilih studi yang harus ditempuh
beberapa tahun kedepan daripada memperjuangkan mimpinya.
Dari
beberapa peristiwa diatas, kiranya sangat diperlukan untuk merenung sejenak dan
mempertanyakan apakah tindakan semacam itu sudah sangat benar ketika dilihat
dari berbagai macam sudut pandang yang berbeda.
Persoalannya
ada pada keberagaman pemikiran yang memunculkan perbedaan keinginan. Meskipun
anak terlahir dari sebuah cinta yang diekspresikan melalui persetubuhan antara
ibu dan ayah, bukan berarti anak memiliki kesamaan berpikir dengan orang tua. Meskipun
anak terlahir dari kesucian rahim seorang ibu, bukan berarti anak menjadi
komoditas mati yang terus- terusan mengikuti alur cerita yang diciptakan orang
tua.
Bahkan
mungkin saja, keberagaman didalam hidup adalah keniscayaan Tuhan yang
diciptakan untuk saling bisa toleransi, begitupun dalam ranah keluarga. Antara
orang tua dan anak harus sama- sama memiliki toleransi, salah satu implementasinya
yaitu dengan menerapkan konsep dialektis. Dengan berdialektika, melihat
berbagai macam pertimbangan sang anak ataupun orang tua, sehingga berbagai
macam persoalan bisa diambil jalan tengahnya.
Dalam
aspek memilih pendidikan anak, konsep dialektis dalam keluarga juga sangat
penting. Hal ini dapat membuka ruang diskusi keluarga untuk mengkritisi
berbagai macam pertimbangan yang ada. Konsep ini juga akan menempatkan anak
sebagai subjek yang memiliki hak untuk bicara dan hak untuk mentukan jalan
hidupnya sendiri.
Terkadang
memang sistem yang dibuat dalam ranah keluarga cenderung konservatif dan
otoriter, sehingga kurang toleransi dengan adanya musyawarah atau diskusi
keluarga. Permasalahan yang mendasar tetap saja ada pada pikiran yang mungkin
masih kurang terbuka dan tidak ada mind
upgrade sehingga pemikiran cenderung usang serta berdebu. Itulah mengapa
sistem dialektis dalam keluarga harus diterapkan untuk mengetahui keinginan
anak ataupun orang tua dengan berbagai pertimbangan- pertimbangan.
0 Response to "Kebebasan Pendidikan Anak dan Budaya Dialektis Keluarga"
Post a Comment